Kamis, 17 Juli 2014

puisi



Bahagia di suatu hari

Diruangan yang luas ini aku tersudut
Menyanyikan himne kedaimaian yang terhormat
Memecahkan kekosongan hati dengan kesunyian
Memuja kecerahan hari esok yang menyunggingkan senyum ramah
Memeluk bayangan liar yang girang
Bahagia karena keluar dari buih kebosanan
Menatap matahari dibalik tirai kesunyian
Mencoba menjadi seseorang yang lain meski itu berarti
Aku telah menodai rasa sendiri
Meski itu adalah kesalahan
Ijinkan sejenak saja aku mengenakan topeng kebohongan ini
Untuk menjadi orang yang dianggap pahlawan di hari yang lain. Menjadi teman dalam rasa kosog ini aku menikmatinya.
Aku berterimaksih pada rasa bijak sana yang tinggi

puisi



Gila dan Aneh
Hidupku sama dengan yang lain
Aku makan sama seperti yang mereka makan
 aku menghirup udara yang sama dengan mereka
 namun aku masih tampak berbeda dengan mereka,
 aku berharap bahagia  yang sama dengan mereka namun tak pernah sama
Hidupku sama dengan yang lain,
 bumi yang kuinjak pun tak berbeda dengan mereka.
Aku rasakan sakit sama seperti mereka,
 namun mengapa aku masih berbeda dengan mereka?
 Apa rasa ini telah membuatku gila karna aku berbeda dari mereka.
Siang malam yang sama berputar namun lebih lambat untukku berbifikir,
 Terkadang aku merasa ini sungguh sunyi,
 Berlari dari hal yang tak ada,
Menakuti hal yang tak menakutkan
Sungguh gila dan aneh hati ini…
 Terkada aku haus bertanyaan mengapa begini,
 mengapa aku segila ini, mengapa aku setakut ini.
Terkadang saat aku bercermin aku tak melihat diriku yang bergaya,
Akan tetapi aku meliat seorang gadis yang meringkuk ketakutan
 Diantara pupil mataku sendiri, ya mungkin aku berbeda dan aneh.
 Merasa tak ada teman namun mereka disampingku…
Apa yang harus kulakukan ? haruskah aku berbuat hebat didepan mereka?, merasa lebih kuat dari mereka?
Berapa usiaku?
 Masih layakkah aku disebut anak beruang yang akan mati tanpa induk yang menemani disampingnya, sedangkan dunia terus berputar,
 Akan banyak keajaiban terjadi disaat aku tak  sempat mengedipkan mata,
 dan tertidur dibuaian khayal…
 Dunia  sungguh menertawakan aku,
 Ih gila sungguh ini sudah di luar kewarasan dunia,
 keluar… keluar dari hari dimana kehati- hatian menjadikan kau budak… sungguh aneh dan gila.
 Berusaha untuk keluar dari perbudakan hati, tapi sulit untuk dilakukan sungguh gila…

puisi



Cinta seorang ibu
Cintanya begitu murni
Tak akan terikat oleh satu pun janji
Tak akan tertepis meski kata yang terucap
Teramat sakit dirasakan
Atau terasa pedih di penghulu darah
Sorot matanya menenangkan hati setiap jiwa muda
Genggaman tangannya akan terus abadi meski
Raganya di peluk bumi
Cintanya akan selalu dekat meski berada di kutub
Yang berbeda,
Dia yang akan menangis dahulu
Saat kita rasakan sakit
Dia yang pertama bersujud syukur saat bahagia datang menghampiri
Dia sosok yang sangat tinggi
Lebih tinggi dari gunung yang ada di dunia manapun

puisi



KUCING JALANAN

Aku adalah kucing jalanan
Hidup dijalan tanpa arah tujuan
Aku berjalan hanya dengan rasa belaka
Melompat dari satu atap rumah
Keatap rumah orang lain
Caci maki sudah biasa berdengung di telingaku
Tak jarang kedatanganku di sambut kerasnya sapu
Sudah biasa aku rasakan itu.
Aku kucing jalanan bukan kucing rumahan yang dimanja majikan
Di elus bulunya yang lembut berbau sabun salon hewan
Tapi ditendang waktu ketahuan mencuri makanan majikan
Aku kucing jalanan yang di permainkan waktu
Sedetik tadi aku di elus oleh orang- orang di atap pertama sebuah rumah
Tapi sedetik kini aku di lempari gagang sapu di hadapan kumisku
Aku kucing jalanan meski tidurku diatas kasur rumahan.

Rabu, 16 Juli 2014

puisi



Teh Pahit di Musim Hujan
Mendung menemani langkah ini
Menjadi pelindung diantara waktu dan mimpi
Memanjakan hati
Penuh dengan rasa iri
Pada sesuatu yang tak kumengerti
Ingin aku lebih menikmati
Hati kosong
Hilang tersapu oleh gerimis yang datang
Mencintai seseorang yang takkan menjadi milikku
Hanya secangkir teh hangat
Yang mengerti sejakala yang kurasakan
Berteman dengan raungan hujan aku bersenandung
Membiarkan dunia dengan kegilaannya
Dan merebahkan hati yang diam
Dibawah hujan aku bersenandung ria
Bernyanyi tralala- tralili seakan kasediahn
Adalah seonggok kulit yang terkelupas
Namun perihnya tetap menari dihati
Ditemani secangkir teh dan hujan yang semakin menjadi
Aku bermanja dengan waktu
Meneguk kepahitan di ujung lidah mimpi indah
Dan berharap lagi matahari tak lagi mengutuki
Hati yang kosong penuh dengan madu kerinduan
Kerinduan pada hari
Hari dimana hanya ada kata cinta
Menaungi kehidupan yang masih
Berdetak ini